Rabu, 02 Mei 2012

indonesia tanpa liberal

Hidayatullah.com – Aktivis Islam Liberal Mohamad Guntur Romli mengkritik kehadiran gerakan #Indonesia Tanpa Liberal. Baginya gerakan seperti ini adalah sebuah bentuk phobia (ketakutan) terhadap istilah – istilah asing. Menurutnya kata liberal dalam arti definisi sederhana adalah hak individu. Termasuk hak asasi manusia adalah hak yang liberal.

“Kalau ada orang pakai jilbab, kemudian dia harus masuk kerja, kemudian dia dipaksa untuk menanggalkan jilbabnya, kemudian dia menggugat bahwa ini adalah hak saya menggunakan jilbab, itukan definisi liberal. Sekarang pertanyaannya, Indonesia Tanpa Liberal’ lhoh maksudnya yang mana?,” jelas Guntur dalam seminar umum “Paradigma Feminisme di Indonesia”  yang diadakan Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia (KOMAFIL UI) hari Selasa, (o1/05/2012) kemarin.

Menurut mantan pembawa acara program “Kongkow Bareng Gus Dur” di KBR68H Jakarta ini, ketika seorang punya hak untuk memberikan suara secara individu, tidak dibedakan dari kelas sosial, ekonomi. Satu orang satu suara itu adalah hak liberal.

“Berarti orang ini tidak paham apa itu gender, apa itu feminisme, apa itu liberalisme, apa itu demokrasi. Ada penyakit, mungkin karena asing sudah dianggap bertentangan dengan Islam,” tambahnya.

Guntur menyakini, bahwa banyak hal bisa dilihat secara harmoni dan damai yang harus diusahakan melalui diskusi terus menerus dan menjauhkan diri dari klaim merasa paling benar.

Selain mengkritisi gerakan Indonesia Tanpa Liberal, alumnus Pondok Pesantren al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura ini juga mengkritik Bung Karno, mantan Presiden Pertama RI sebagai sosok laki – laki yang ironi dan memposisikan perempuan sebagai boneka.

Guntur mengutip dari buku Bung Karno yang berjudul “Sarinah”. Di mana dari buku ini Guntur berkesimpulan bahwa Bung Karno memiliki pandangan yang sinis terhadap feminisme.

“Ketika bicara soal perempuan, tentu saja Soekarno terjebak dengan kodrat, laki – laki adalah memberikan zat untuk anak, perempuan menerima, melahirkan, menyusui, dan memelihara anak itu adalah ide Soekarno” jelas salah satu anggota Jaringan Islam Liberal ini.

Menurut Guntur, seorang perempuan sempurna bagi Soekarno adalah seorang ibu, seorang istri, seorang kawan dalam perjuangan. Yang dalam kenyataannya Soekarno adalah seorang penganut poligami. Jadi ketika Bung Karno pernah mengkritik seorang kawannya yang memuliakan istrinya, Soekarno justru menganggap perempuan seperti boneka.

“Bagi saya Soekarno itu menganggap perempuan boneka, boneka yang bisa ditampilkan, boleh diajak dansa dan segalanya, tapi dia tidak pernah hirau dengan perasaan istri – istrinya itu. Terutama istri pertamanya Ibu Fatmawati, setelah memilih poligami, Ibu Fatmawati tidak mau hidup bersama dengan Soekarno dan memilih hidup di luar Istana,” jelas laki – laki yang pernah menulis buku “Membela Pluralisme” (2005) ini.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar