Hidayatullah.com – Aktivis
Islam Liberal Mohamad Guntur Romli mengkritik kehadiran gerakan
#Indonesia Tanpa Liberal. Baginya gerakan seperti ini adalah sebuah
bentuk phobia (ketakutan) terhadap istilah – istilah asing. Menurutnya
kata liberal dalam arti definisi sederhana adalah hak individu. Termasuk
hak asasi manusia adalah hak yang liberal.
“Kalau ada orang
pakai jilbab, kemudian dia harus masuk kerja, kemudian dia dipaksa untuk
menanggalkan jilbabnya, kemudian dia menggugat bahwa ini adalah hak
saya menggunakan jilbab, itukan definisi liberal. Sekarang
pertanyaannya, Indonesia Tanpa Liberal’ lhoh maksudnya yang mana?,”
jelas Guntur dalam seminar umum “Paradigma Feminisme di Indonesia” yang
diadakan Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia (KOMAFIL
UI) hari Selasa, (o1/05/2012) kemarin.
Menurut mantan pembawa
acara program “Kongkow Bareng Gus Dur” di KBR68H Jakarta ini, ketika
seorang punya hak untuk memberikan suara secara individu, tidak
dibedakan dari kelas sosial, ekonomi. Satu orang satu suara itu adalah
hak liberal.
“Berarti orang ini tidak paham apa itu gender, apa
itu feminisme, apa itu liberalisme, apa itu demokrasi. Ada penyakit,
mungkin karena asing sudah dianggap bertentangan dengan Islam,”
tambahnya.
Guntur menyakini, bahwa banyak hal bisa dilihat secara
harmoni dan damai yang harus diusahakan melalui diskusi terus menerus
dan menjauhkan diri dari klaim merasa paling benar.
Selain
mengkritisi gerakan Indonesia Tanpa Liberal, alumnus Pondok Pesantren
al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura ini juga mengkritik Bung Karno,
mantan Presiden Pertama RI sebagai sosok laki – laki yang ironi dan
memposisikan perempuan sebagai boneka.
Guntur mengutip dari buku Bung Karno yang berjudul “Sarinah”. Di mana dari buku ini Guntur berkesimpulan bahwa Bung Karno memiliki pandangan yang sinis terhadap feminisme.
“Ketika
bicara soal perempuan, tentu saja Soekarno terjebak dengan kodrat, laki
– laki adalah memberikan zat untuk anak, perempuan menerima,
melahirkan, menyusui, dan memelihara anak itu adalah ide Soekarno” jelas
salah satu anggota Jaringan Islam Liberal ini.
Menurut Guntur,
seorang perempuan sempurna bagi Soekarno adalah seorang ibu, seorang
istri, seorang kawan dalam perjuangan. Yang dalam kenyataannya Soekarno
adalah seorang penganut poligami. Jadi ketika Bung Karno pernah
mengkritik seorang kawannya yang memuliakan istrinya, Soekarno justru
menganggap perempuan seperti boneka.
“Bagi saya Soekarno itu
menganggap perempuan boneka, boneka yang bisa ditampilkan, boleh diajak
dansa dan segalanya, tapi dia tidak pernah hirau dengan perasaan istri –
istrinya itu. Terutama istri pertamanya Ibu Fatmawati, setelah memilih
poligami, Ibu Fatmawati tidak mau hidup bersama dengan Soekarno dan
memilih hidup di luar Istana,” jelas laki – laki yang pernah menulis
buku “Membela Pluralisme” (2005) ini.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar