Senin, 26 Mei 2014

Media “Kaki Tangan” Penguasa

Tidak bisa kita elakan lagi, bahwa saat ini para pemilik modal berbondong-bondong membeli media untuk memuluskan kepentingannya. seakan mereka berlomba-lomba untuk melebarkan “sayap-sayap”nya dalam merengkuh kekuasaan di negara ini. Sehingga para pemilik modal dengan leluasa mempermainkan negara dan rakyat Indonesia layaknya “boneka”.
Hampir semua media dikendalikan oleh para pemilik modal baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti Surya Paloh dengan MetroTV-nya. Aburizal Bakrie dengan ANTV dan TV One-nya. Hary Tanoesoedijo dengan RCTI, Global TV dan MNC TV. Dan masing-masing dari mereka pasti mempunyai kepentingan untuk menguasai kekuasaan di negara ini.
Pada saat semua sudah mengedepankan kepentinganya masing-masing, lalu kepada siapa rakyat akan mendapatkan berita yang aktual dan berimbang. Bukan atas dasar kepentingan namun atas dasar keadilan dan kepercayaan.
Semua Bisa Diatur
Tentu toh kita masih ingat dengan kejadian lumpur lapindo yang memakan korban 13 desa di tiga kecamatan di kabupaten Sidoarjo, kasus bank Century, Kasus Gayus Tambunan, dan yang teranyar adalah kasus Nazarudin mantan bendahara partai demokrat. Hampir semua kasus-kasus ini ditutup-tutupi oleh kepentingan para pemilik modal yang tidak lain mereka adalah para petinggi di partai politik.
Di kasus lumpur Lapindo, TV One terkesan mempolitisir kejadian tersebut dengan tidak menayangkan kejadian secara keseluruhan. Terbukti pada saat peringatan “lumpur lapindo” yang ke 5, TV One mengemas bencana tersebut seakan-akan menjadi berkah bagi warga yang menjadi korban.
Salah satunya adalah profil seorang ibu yang berhasil berdagang menjual makanan dan minuman. Ibu ini setiap hari berjualan di kawasan musibah ini. Berkeliling dengan mengendarai sepeda motor menyusuri tanggul pembendung luapan lumpur dan tak lupa membawa serta anak perempuannya yang masih kecil duduk di depan. Sementara di boncengan belakang penuh dengan barang dagangannya. Ketika diwawancarai, ibu ini berkali-kali bersyukur berkat keberhasilannya berdagang. Dia juga menyatakan bahwa ini berkat “ganti untung” (bukan ganti rugi) yang diberikan oleh PT. Lapindo Berantas.
Kemudian kasus Gayus tambunan yang tak tentu rimbanya, padahal Gayus Tambuna adalah kunci utama bagi terbongkarnya kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan Bakrie yang bergerak dibidang batu bara. TV One seakan menutup rapat mengenai pemberitaan tersebut, bahkan terkesan melupakannya.
Aburizal Bakrie melalui media miliknya, bisa menyulap Bencana menjadi anugerah. Ini membuktikan bahawa begitu hebatnya para pemilik modal memainkan perannya seperti sutradara yang mengatur Negeri ini. Semua bisa diatur karena mereka memiliki media sebagai alat untuk kepentingannya.
“Lain Lubuk Lain Belalang”, Lain Aburizal Bakrie Lain Juga Surya Paloh dan Hary Tanoesoedijo
Kita lihat pemberitaan di Metro TV pasti selalu kontra dengan kebijakan pemerintahan dan terkesan membela rakyat kecil. Sehingga rakyat lebih melek terhadap kondisi para pemimpin bangsa Indonesia yang ‘bobrok’ secara moralitasnya.
Namun saya teringat kepada pepatah lama yang mengatakan “ada udang dibalik batu”. Kalau kita lihat pemberitaan-pemberitaan tersebut tak lain dan tak bukan adalah demi misi Surya Paloh menjadi orang “NO.1” di Negara Republik Indonesia. Gerakan perubahan yang diusungnya kian usang ketika pemberitaan sudah dipolitisir. Tak ada kata keikhlasan dalam memperbaiki masyarakat Indonesia.
Tidak bisa kita pungkiri media adalah “SILENT REVOLUTION” . Dia senyap tetapi tanpa terasa pengaruhnya demikian besar dalam mempengaruhi pemirsa. Tanpa terasa pemirsa kemudian terperangkap alam bawah sadarnya setelah menyaksikan sebuah tayangan yang diulang-ulang. Revolusi senyap yang diciptakannya menurut beberapa pakar politik dikatakan mampu mengalahkan jejaring partai dalam memengaruhi konstituen.
Hampir seluruh masyarakat Indonesia adalah pecandu tayangan Televisi, karena mereka butuh hiburan ditengah kepenatan dalam menghadapi hidup yang susah ini. Namun sayangnya mereka justru mejadi korban kepentingan para pemilik modal.
Hary Tanoe dengan dukungan media yang tidak main-main yaitu MNC Group, menyatakan dirinya untuk menjadi politikus dari salah satu partai baru yang mengatasnamakan gerakan perubahan bersama Surya Paloh. Mereka pasti akan sangat apik mengemas pencitraan yang sebaik-baiknya, untuk mengkelabuhi rakyat indonesia.
Demokrasi Transaksional
Indonesia pada saat ini menganut sistem Demokrasi Transaksional, karena siapapun yang memiliki modal pasti bisa menjadi penguasa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika para pemilik modal sudah berkuasa, maka yang namanya demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat adalah NOL BESAR. Media harusnya memberikan pemberitaan sesuai dengan hati nurani, aktual, terpercaya dan ikhlas tanpa ada unsur kepentingan apapun.
Apabila media di Indonesia yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat kapada pemimpin negeri ini, sudah dipolitisir oleh para pemilik modal. Bagaimakah nasib bangsa indonesia?
sumber ; kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar